PEPER PERANG SALIB
1.
Sejarah dan Penyebab Terjadinya Perang Salib
Perang salib terjadi selama kurang lebih dua abad.
Peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen
terhadap orang Islam, yang kemudian meletusnya Perang Salib ini[1].
Kebencian ini bertambah setelah
dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan
Dinasti Fathimiyyah yang berkedudukan di Mesir. Hingga akhirnya kebijakan yang
dikeluarkan oleh Dinasti Seljuk bagi umat Kristiani yang hendak berziarah
kesana dirasakan sangat memberatkan dan menyulitkan[2]. Perang ini juga merupakan kumpulan
gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani,
yakni pada periode 1096-1291.
Dinamakan Perang Salib, sebab ekspedisi militer
Kristen dalam peperangan ini mempergunakan lambang salib yang merupakan
sebuah simbol pemersatu antara kaum Kristiani untuk menunjukkan bahwa
peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci[3]. Perang yang sangat melelahkan ini,
salah satunya disebabkan oleh permintaan Kaisar Alexius Connenus I pada
tahun 1095 kepada Paus Urbanus II[4]. Kaisar dari Bizantuim meminta
bantuan dari Romawi karena daerah-daerah yang tersebut sampai ke pesisir Laut
Marmora dibinasakan oleh Dinasti Saljuk. Bahkan, kota Konstanatinopel
diancamnya pula. Adanya permintaan ini, Paus Urbanus II melihat kemungkinan
untuk mempersatukan kembali (gereja Yunani dengan Romawi yang telah terpecah
semenjak tahun 1009-1054)[5].
Maka pada tanggal 26 November 1095, Paus Urbanus II
menyampaikan pidatonya yang menggebu-gebu dihadapan ribuan kaum Kristiani. Isi
pidato yang disampaikan oleh Paus Urbanus II menyulut Perang Salib ini terjadi
di Clermont, bagian Tenggara Perancis dan memerintahkan orang-orang Kristen
agar memasuki lingkungan Makam Suci, untuk merebutnya dari orang-orang jahat
serta menyerahkannya kembali kepada mereka[6].
Menurut penulis, mungkin inilah salah satu bentuk
pidato paling berpengaruh yang pernah disampaikan oleh Paus Urbanus II
sepanjang catatan sejarah. Orang-orang yang hadir di sana dengan penuh semangat
yang tinggi meneriakkan slogan Deus Vull (Tuhan menghendaki) sambil
mengancung-acungkan tangan[7]. Sehingga pada musim semi tahun
1097, sekitar 150.000 manusia umat Kristiani, sebagian besar yang merupakan
orang Franka, Norman dan sebagian lagi merupakan rakyat biasa menyambut seruan
tersebut untuk berkumpul di Konstatinnopel. Pada saat itulah genderang Perang
Salib, dengan himpunan umat Kristiani yang dirasakan sudah cukup untuk
menyerang Islam mulai dilancarkan.
Penyebab Perang Salib yang kedua adalah faktor sosial
ekonomi[8]. Pada waktu itu, para pedagang
besar yang berada di sekitar pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di
kota-kota penting, seperti Venezia, Ganoua, dan Pisa, berambisi dengan penuh
emosi untuk menguasai sejumlah kota perdagangan di sepanjang pantai timur dan
selatan Laut Tengah tersebut[9]. Hal ini dilakukan salah satunya
untuk memperluas jaringan perdagangan mereka. Untuk itu, hampir seluruhnya
mereka rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan
kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila seandainya umat
Kristen Eropa memperoleh kemenangan.
Ketika Perang
Salib Pertama
didengungkan pada tanggal 27 November 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, yaitu wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi, selama kurang lebih seratus tahun. Ketidakbersatuan penguasa-penguasa
Muslim merupakan salah satu faktor yang penting bagi kelancaran kaum Kristen
untuk melakukan ekspedisinya. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur.
Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa faktor ini merupakan
kekuatan besar bagi kaum Kristiani, dengan menelan dogma Kristen bahwa kebaikan
yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan kekristenan suatu
negara. Sehingga, menurut mereka Perang Salib bagi orang-orang Kristen
merupakan jaminan untuk masuk surga. Sebab mati dalam pertempuran Perang Salib,
menurut mereka, adalah mati sebagai pahlawan agama dan akan langsung dimasukan
ke dalam surga walaupun mempunyai dosa-dosa pada masa lalunya[10].
2.
Periodisasi Perang Salib
Para sejarawan menyatakan, sebenarnya periode meletusnya
Perang Salib ini selama kurun waktu dua abad sulit di klasifikasikan. Ada yang
menyatakan bahwa Perang Salib itu terjadi selama enam periode, ada juga yang
menyatakan terjadi selama delapan periode bahkan lebih. Akan tetapi, kebanyakan
dari sejarawan berpendapat Perang Salib ini terjadi selama tiga periode. Mereka
mengutip dari seorang tokoh sejarawan terkemuka bernama Philip K. Hitti dalam
bukunya yang berjudul History of The Arabs[11]. Ketiga periodisasi tersebut adalah
sebagai berikut:
a)
Masa periode pertama (periode penaklukan)
Pada masa penaklukan, jalinan kerja sama Kaisar
Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen,
terutama akibat pidato Puas Urbanus II di Clermont (Perancis Selatan), pada
tanggal 26 November 1095. Konsili di Clermont ini, ia menyampaikan kotbahnya
yang bertujuan untuk menggerakkan dan membuat umat Kristiani mendapat suntikan
semangat baru untuk mengunjungi kuburan Suci. Gerakan awal ini dipimpin oleh
Pierre I’ ermite[12]. Dari sepanjang perjalanan menuju
Konstatinopel, mereka membuat keonaran-keonaran seperti, melakukan perampokan,
dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria dan Bizinatum. Akan
tetapi, pada khirnya dengan mudah pasukan Salib ini dapat ditaklukkan oleh
dinasti Saljuk, yang dipimpin oleh Killij Arslan dan Alp Arslan. Mereka kaum
Kristiani terkocar-kacir dan kembali ke Clermont.
Masih dalam periode ini, Pasukan Salib berikutnya
dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond[13]. Gerakan ini lebih merupakan
ekspedisi militer yang sangat terorganisir dan tersusun dengan rapi. Sehingga,
mereka bisa berhasil menaklukkan dan menduduki kota suci Palestina (Yerusalem)
pada tanggal 7 Juli 1099. Inilah ekspedisi yang menghasilkan kemenangan besar.
Selain itu, kekejaman yang dipimpin oleh pasukan Godfrey ini melakukan
pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan
perempuan, baik anak-anak maupun orang tua. Banjir darah dan pembantaian
terhadap kaum muslim mengikuti kemenangan mereka di Kota Suci itu. Taktik para
tentara Perang Salib ialah tidak membawa tawanan serta sebab berhasilnya perang
salib pertama ini adalah ketidaktahuan para umat baik itu muslim, kristen dan
yahudi di yerusalem bahwa mereka datang untuk menyerang. Karena itulah para
muslim tidak menyiagakan pasukannya dan memang yang pada waktu itu Yerusalem
bukan daerah kekuasaan atau jajahan kekaisaran muslim, biadabnya lagi yang
mereka bantai adalah para penduduk dan pedagang muslim yang sudah menyerah,
inilah yang menyebabkan kebencian umat Islam. Seorang pengamat yang merestui
tindakan biadab tersebut menulis bahwa para prajurit menunggang kuda mereka
dalam darah yang tingginya mencapai tali kekang kuda, dan memang kaum Kristiani
Eropa cenderung menutupi kejadian ini dan yang semacam ini, demi nama baik
mereka, tidak seperti pembantaian kaum Yahudi yang selalu mereka
gembar-gemborkan. Sebelum mereka menduduki Baitulmakdis, pasukan ini terlebih
dahulu merebut Anatalia Selatan, Tarsus Artiolia, Allepo, dan Ar-Ruba, Tripoli,
Syam dan Arce.
Kemenangan yang diperoleh pasukan Salib pada periode
ini telah mengubah peta dunia Islam. Adapun bukti kemenangan tersebut adalah
berdirinya kerajaan-kerajaan Latin-Kristen di wilayah bagian timur, seperti
Kerajaan Baitulmakdis yang berdiri pada tanggal 15 Juli 1099 di bawah
pemerintahan raja Godfrey, kemudian di Edessa pada tahun 1099 di bawah
kekuasaan Raja Baldwin, serta di wilayah Tripoli masih pada tahun 1099 di bawah
kekuasaan Raja Reymond[14]. Akibatnya, wilayah-wilayah
kekuasaan Islam masa ini hamper sebagian besar di duduki oleh tentara Kristiani.
b)
Masa periode kedua (reaksi umat Islam)
Pada masa ini beberapa wilayah kekuasan Islam jatuh ke
tangan tentara Salib, sehingga menyebabkan bangkitnya kembali kaum muslimin
untuk menghimpun kekuatan besar yang diprioritaskan khusus menghadapi mereka.
Di bawah komando sang panglima Imanduddin Zangi, yang merupakan Gubernur Mosul,
kaum musilimin serempak menyatukan langkah besar bergerak maju untuk membendung
serangan dari pasukan Salib. Alhasil, pada tahun 1144 M atas jerih payah dan
semangat juang yang tinggi, tentara muslim berhasil merebut kembali tiga
wilayah penting, yaitu Allepo, Hamimah dan Edessa. Hal ini merupakan salah satu
kemengan besar tentara muslim.
Akan tetapi, setelah Imaduddin Zangi (Imaduddin Zanki)[15] wafat pada tahun 1146 M, posisinya
digantikan oleh putranya, Nuruddin Zangi. Ia meneruskan cita-cita ayahnya yang
ingin membebaskan negara-negara Islam di timur dari cengkraman kaum
Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan masa putranya ini, antara lain
Damaskus, Antiolia dan Mesir pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151 M,
kemenangan yang sangat mengagumkan seluruh wilayah Edessa dapat direbut kembali
dan dikuasai oleh tentara Islam[16].
Kejatuhan wilayah Edessa ini, menyebabkan kaum
Kristiani mengobarkan Perang Salib kedua yang sesungguhnya[17]. Kali ini, Paus Eugenius III
menyerukan perang suci yang disambut sangat baik oleh Raja Perancis bernama
Louis VII dan Raja Jerman bernama Condrad II. Kedua raja ini memimpin pasukan
tentara Salib dengan rencana untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan
tetapi, hal demikian sangatlah mudah bagi Nuruddin Zangi, kedua pasukan ini
bisa dihalau dan mereka melarikan diri pulang ke negerinya.
Pasca wafatnya Nuruddin Zangi pada tahun 1174 M[18], panglima perang selanjutnya berada
dalam kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi (saladin) yang berhasil mendidrikan
Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M serta berhasil membebaskan
Baitulmakdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Bahkan, pada tahun 1187 M[19], peperangan yang di pimpin oleh
panglima Shalahuddin Al-Ayyubi ini mengalami kemenangan besar dengan direbutnya
kembali wilayah Yerussalem yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Kristiani yang
mendirikan kerajaan latin selama 88 tahun. Keberhasilan umat Islam ini, sangat
menyedihkan dan memukul perasaan tentara Salib. Akhirnya mereka kembali
membangkitkan kaumnya untuk mengirim ekspedisi militer besar-besaran dan yang
lebih kuat. Mereka menyusun rencana sebaik mungkin untuk menyerang sebagai
balasannya. Ekspedisi ini diluncurkan pada tahun 1189 M yang dipimpin oleh raja
besar Eropa, seperti Frederick I ( Frederick Barbarossa, Kaisar Jerman),
Richard I (The Lion Hearted, Raja Inggris), serta Philip II ( Philip
Agustus, Raja Perancis)[20]. Ekspedisi ini dilakukan pada tahun
1189 M[21].
Ekspedisi perang Salib ini dibagi beberapa divisi,
sebagian menempuh jalur jalan darat dan sebagian lagi menempuh jalur laut.
Frederick yang memimpin divisi jalur darat ini tewas ketika menyerangi sungai
Armenia, dekat kota Ruba (Edessa). Sebagian tentaranya kembali, kecuali
beberapa orang yang masih hidup melanjutkan perjalannya. Dua divisi lainnya
yang menempuh jalur laut bertemu di Sisilia. Mereka berada di Sisilia hingga
musim dingin berlalu. Richard menuju Ciprus dan mendudukinya di sana. Sedangkan
Philip langsung ke Arce, dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Saladin,
sehingga terjadi pertempuran sengit. Namun, dengan pasukan Saladin memilih
mundur dan mengambil langkah untuk mempertahankan Mesir. Dalam keadaan
demikian, pihak Richard dan pihak Saladin sepakat untuk melakukan genjatan
senjata dan membuat perjanjian. Perjanjian ini disebut dengan Shulh
al-Ramlah[22]. Inti dari perjanjian damai itu
adalah bahwa umat Kristen yang akan berziarah ke Baitulmakdis akan terjamin
keamanannya. Begitu juga dengan daerah pesisir utara, Arce dan Jaita berada di
bawah kekuasaan tentara Salib.
c)
Masa periode ketiga (perang saudara kecil-kecilan/periode kehancuran)
Pada periode ini, peperangan disebabkan oleh ambisi
politik untuk memperoleh kekuasaan dari sesuatu yang bersifat materialisti
daripada motivasi agama. Dalam periode ini, muncul pahlawan wanita dari
kalangan kaum muslimin yang terkenal gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr. Ia
beerhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Perancis sekaligus menangkap
raja tersebut. Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan, pada waktu itu
tentara Kristen berada di bawah kekuasaan Raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum merebut ke wilayah Palestina, dengan harapan mereka mendapatkan
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi[23].
Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Raja
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara
al-Malik al-Kamil harus bersedia melepaskan Palestina. Raja Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin di sana, dan begitu pun Frederick
tidak diperbolehkan mengirim bantuan kepada Kristen yang berada di wilayah Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, wilayah Palestina yang
tadinya diserahkan kepada Raja Frederick kini dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin pada tahun 1247 M, yakni pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir pengganti al-Malik
al-Kamil. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik, yang menggantikan posisi Daulah Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun[24]. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M. Demikianlah
Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat,
termasuk di wilayah Spanyol, sampai umat Islam habis terkikis dan terusir dari sana[25].
Akan tetapi, walaupun umat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerahnya dari pasukan tentara Salib, namun berbagai
kerugian yang mereka derita begitu banyak. Sebab, peperangan semuanya itu
terjadi diwilayah kekuasaan Islam. Diantara kerugian yang diderita oleh kaum
muslimin adalah lemahnya kekuatan politik umat Islam serta banyak
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah
di Baghdad.
3.
Akibat, Kondisi dan Peninggalan dari Perang Salib
a)
Akibat Perang Salib
Perang Salib menimbulkan beberapa akibat penting dalam
sejarah dunia. Perang Salib membawa Eropa ke dalam kontak langsung dengan dunia
muslim dan terjadinya hubunngan antara timur dan barat. Kontak ini menimbulkan
saling tukar pikiran antara kedua belah pihak. Pengetahuan orang timur yang
progresif dan maju memberi daya dorong besar bagi pertumbuhaan intelektual
Eropa barat. Hal ini melahirkan suatu bagian penting dalam menumbuhkan reanisance
di Eropa[26].
Keuntungan Perang Salib bagi Eropa adalah menambah
lapangan perdagangan, mempelajari kesenian dan penemuan penting seperti kompas
pelaut, kincir angin dan sebagian dari orang islam mereka juga dapat mengetahui
cara bertani yang maju dan mempelajari kehidupan industri timur yang lebih
berkembang. Ketika kembali ke Eropa, mereka mendirikan pasar khusus
barang-barang timur. Orang barat mulai menyadari kebutuhan akan barang-barang
timur dan karena kepentingan ini perdagangan antara menjadi lebih berkembang.
Kegiatan perdagangan tersebut lebih mengarahkan pada perkembangan kegitan maritim
di Laut Tengah[27].
b)
Kondisi Pasca Perang Salib
Perang
Salib Pertama melepaskan
gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan
pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh
kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap
orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen
berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi
seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen
lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh
mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, Perang Salib tidak pernah mencapai
tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 M dan
sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang Salib mengalami
kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga kepausan terhadap
agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa. Orde ksatria Salib mempertahankan
wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang
terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya
dibubarkan oleh Napoleon
Bonaparte pada tahun
1798 M.
c)
Peninggalan dari Perang Salib
- Politik dan Budaya
Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan Pada masa itu, sebagian besar benua
dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14,
perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada
masa awal perang salib. Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui
hubungan antara Semenanjung
Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di
bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke
dunia Barat selama masa Perang Salib[29]. Pengalaman militer Perang Salib
juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai
menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di
Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan,
tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia[30].
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan
penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju
perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada
masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
- Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan
balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan
yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para
pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang
Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang
ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur[31]. Hal ini juga membantu pada
masa-masa awal Renaissance di Itali karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang
penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah
bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang
ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang
maju, bentuk awal dari mesin, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman
Asia lainnya dan banyak lagi. Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat
mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium. Tanah Byzantium adalah
negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil
alih Konstantinopel pada tahun 1204 M, Byzantium tidak pernah lagi menjadi
sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453 M.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang
Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang
perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang
Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu
kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara
Katolik Roma utama dalam menyelamatkan katolikisme, yaitu tujuan yang utama
adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan
kekristenan[32].
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi
terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara bangsa Frank dengan Tentara Salib meninggalkan bekas yang amat
dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21,
sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan
dunia Barat di Timur
Tengah sebagai
perang salib. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang
kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan
tentang Perang Salib. Menurut ahli sejarah, Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia
Islam yang cenderung menarik diri. Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun
1250 M yang menggambarkan pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni
Judenhut) oleh tentara Salib.Terjadi kekerasan tentara Salib
terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit. Meski tidak ada satu Perang Salib
pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini
meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak
selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat. Posisi sosial
bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama
dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus
Innocentius III dan
membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan[33].
- Pegunungan Kaukasus
Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib.
Di pegunungan
Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku
yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan langsung dari
sebuah kelompok tentara Salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap
dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya Perang Salib yang masih utuh.
Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai
masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografiRusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 –
1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi
Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari
kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku
ini pada tahun 1935 M[34].
Simpulan
Dari pembahasan diatas, maka penulis
menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Perang Salib merupakan peperangan antara tentara Islam dengan
Kristen. Hal ini terjadi bermula kebencian umat Kristiani terhadap masa
pemerintahan Dinasti Seljuk yang dapat menguasai kota suci mereka. Terlebih
dinasti menguasai Baitulmakdis. Dalam peperangan ini tentara Salib memakai
tanda salib di pakaiannya sebagai tanda pemersatu umat Kristiani dan
menunjukkan peperangan suci.
2.
Menurut Philip K. Hitti, sebagaimana yang dikutip oleh banyak
sejarawan, bahwa Perang Salib dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode
pertama yang disebut sebagai periode penaklukkan. Kemudian periode kedua yang
disebut dengan periode reaksi umat Islam dan yang terakhir adalah periode
ketiga atau yang disebut dengan periode kehancuran.
3.
Ada beberapa peninggalan dan dampak yang diakibatkan hasil dari
Perang Salib ini. Diantaranya adalah sebagai berikut:
- Politik dan budaya yang sangat berpengaruh pada masa abad pertengahan Eropa yang dikenal dengan istilah Renaissance.
- Dengan mengenalnya perdagangan yang dilakukan oleh kaum muslimin, berpengaruh pesat terhadap sistem perdagangan Eropa. Mereka bias menemukan hal-hal yang sebelumnya belum pernah mereka temukan.
- Kemajuan dibidang berperangnya juga merupakan salah satu dampak peperangan ini. Orang-orang Kristen Eropa pada khususnya mengetahui bagaimana caranya berperang, seperti menunggang kuda, cara menyemangati ketika berperang, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar