SEDIKIT KISANG TENTANG KH.MUHYIDDIN MAMA PAGELARAN
KH Muhyiddin merupakan salah seorang ulama ternama
asal Jawa Barat pada era penjajahan Belanda yang terlibat dalam perjuangan
merintis, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.
Dia juga telah mendirikan delapan pesantren yang
diberi nama Pagelaran, serta tersebar di Subang, Purwakarta, dan Sumedang.
KH Muhyiddin termasuk kiai yang ikut berjuang
mempertahankan kemerdekaan bersama rakyat ketika Belanda tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia pada 1945.
“KH Muhyiddin bernaung di bawah Hizbullah. Tidak hanya
bergabung dengan Hizbullah, KH Mukhyidin pun menjadikan pesantren Pagelaran I
(Tanjung Siang) sebagai markas pelatihan dan penggemblengan mental bagi para
pejuang Hizbullah,” kata Nina.
Hal itu dikatakan Nina dalam Seminar Nasional
Pengusulan KH Mukhyidin sebagai Pahlawan Nasional, di Museum Sri Baduga, Jalan
Peta, Rabu (23/3/2016).
Pada masa penjajahan Belanda, KH Mukhyidin juga
dikenal memimpin para pejuang untuk menyerang garis pertahanan Sekutu di
Bandung Utara. Dalam penyerangan itu, markas tentara NICA di Ciateul, Bandung,
menjadi salah satu sasaran para pejuang.
“Sangat masuk akal kalau pasukan Belanda menganggap KH
Muhyiddin berbahaya karena status sebagai kiai berpengaruh. Untuk memutus
pengaruhnya di kalangan rakyat, Belanda menangkap KH Mukhyidin dan membawanya
ke Sumedang sebelum dijebloskan ke penjara Kebonwaru, Bandung,” tuturnya.
Dengan banyaknya catatan sejarah, dia berharap,
seminar dan kajian para sejarawan bisa mengangkat KH Muhyiddin sebagai pahlawan
nasional dari kalangan ulama.
“KH Muhyiddin semoga menjadi ulama keempat asal Jawa
Barat yang diangkat menjadi pahlawan nasional,”
Sejarah singkat
Pada awal
tahun 1900-an, Bupati Sumedang pada saat itu Pangeran Wiriakusumah merasa bahwa
masyarakat muslim Sumedang sangat memerlukan bimbingan ahli agama. Maka dengan
itu, Bupati Sumedang mendatangkan beberapa orang kyai dari berbagai wilayah,
diantaranya adalah K.H. Muhyiddin bin Arif seorang kyai yang berasal dari
Garut. Pada tahun 1910 K.H. Muhyiddin ditempatkan di diaerah Cimalaka, disana
beliau mendirikan pesantren yang dikenal dengan pesantren Cimalaka.
Setelah
sepuluh tahun disana, beliau pindah ke suatu tempat terpencil di Cimeuhmal, Kecamatan
Tanjungsiang, Kabupaten Subang. Di tempat itu beliau mendirikan pesantren yang
diberi nama Pondok Pesantren Pagelaran. Pasca revolusi kemerdekaan, kondisi
daerah sangat tidak aman karena merajalelanya gangguan gerombolan. Banyak
pengikut dan kawan seperjuangan K.H. Muhyiddin yang tewas menjadi korban
keganasan gerombolan. Sehingga pada tahun 1950 diputuskan untuk mengungsi,
kembali ke Sumedang. Beliau tinggal di daerah Kaum. Selama tinggal disana
kegiatan pengajian tetap berlangsung, dan kemudian beliau mendirikan pondok
pesantren.
Pada tahun
1962 atas permintaan tokoh-tokoh masyarakat Desa Gardusayang serta petinggi
militer waktu itu, beliau pindah ke Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak,
Kabupaten Subang. Tokoh-tokoh masyarakat dan pihak militer waktu itu meminta
kedatangan beliau untuk merehabilitasi mental masyarakat yang rusak akibat
gerombolan pengacau keamanan. Di tempat ini beliau mendirikan pondok pesantren
pasirnaan. Pada tahun 1973, Beliau berpulang ke Rahmatullah pada usia 97 tahun
dan dimakamkan di Cimeuhmal. Putra-putra beliau menamakan pesantren Pagelaran
di Cimeuhmal menjadi Pondok Pesantren Pagelaran I, pesantren di Kaum Sumedang
menjadi Pondok Pesantren Pagelaran II dan pesantren pasirnaan di Gardusayang
sebagai Pondok Pesantren Pagelaran III. (Kompas/pagelarantiga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar