Rabu, 06 Juli 2016

Makalah FIQH HUKUM SYARA


B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hukum syara'
2. Hukum Taklifi dan pembagiannya
3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan inti dari ilmu fiqh dan Ushul Fiqih. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan pebuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha' (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh'i (sebab akibat). Yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah,sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan-ungkapan lain yang dijelaskan pada pembahasan berikut. Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul Fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hukum syara'
2. Hukum Taklifi dan pembagiannya
3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
4. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i
5. Pengertian Azimah
6. Pengertian Hakim Dan Mahkum Bih
7. Pengertian Mahkum Alaih






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hukum Syara'
Secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran air sungai.
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan hukum adalah :
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ اقْتِضَاءً أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْعًا                               
Titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang ditetapkan).
Menurut Ulama fiqh, hukum syara’ mempunyai arti sifat-sifat dari suatu perbuatan mukallaf yang ditetapkan Allah, misalnya: wajib, sunnah,haram,makruh, dan mubah.
Hukum syara’ menurut para ahli ilmu ushul fiqih ialah : Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntunan, pilihan dan ketetapan.
Jadi, yang dimaksud Hukum Syara’ adalah firman (titah) Allah SWT (termasuk juga Hadits-hadits Nabi SAW) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk thalab (tuntutan/perintah utntuk melakukan perbuatan, ataupun larangan meninggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir (pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu pebuatan), dan wadl’i (ketentuan syari’ah dalam bentuk penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau halangan dari suatu perbuatan tertentu.
Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai : hukum wadh'i. Oleh karena inilah, maka mereka menetapkan bahwasannya hukum syara' terbagi menjadi dua bagian.


B. Hukum Taklifi dan Pembagiannya
1. Hukum Taklifi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Sedang bentuk perintah atau larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti jika perintah itu berbentuk pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti disebut mandub (sunnah). Demikian juga dengan larangan, bila berbentuk pasti maka disebut haram, bila tidak pasti disebut makruh. Sedang yang dimaksud takhyir (pilihan) adalah hukum mubah
Penjelasan yang terperinci mengenai hukum taklifi di atas dapat dibagi menjadi lima macam yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
a. Wajib dan macamnya
Secara etimologi wajib berarti tetap. Sedangkan secara terminologi:
اَلْفِعْلُ الْمَطْلُوْبُ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ بِحَيْثُ فَاعِلُهُ وَيُعَاقَبُ تَارِكهُ
Wajib adalah perbuatan yang dituntut Allah SWT untuk dilakukan oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak ) dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala, dan jika ia meninggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
·           Wajib ditinjau dari segi pelaksanaannya
Ditinjau dari segi orang yang melaksanakan hukum wajib, maka wajib  dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-'aini dan al-wajib al-kafa'i.

a. Al-Wajib al-'aini الواجب العيني
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i (Allah dan RasulNya) untuk dikerjakan oleh setiap individu mukallaf. Kewajiban itu harus dilakukan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang lainatau karena perbuatan orang lain. Umpamanya shalat dan puasa.
b. Al-Wajib al-kafa'i الواجب الكفائ 
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf. Umpamanya melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, sholat jenazah dan lain-lain.
·         Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-muthlaq dan wajib al-mu'aqqat.
a. Al-Wajib al-muthlaq(الواجب المطلق)
Kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya. Umpamanya meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena udzur. Ia wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b. Al-Wajib al-mu'aqqat (الواجب المؤقت)
Kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu. Dalam pada itu, wajib mu'aqqat ini dibagi pula kepada tiga macam, antara lain: al-wajib al-muwassa', al-wajib al-mudhayyaq, dan al-wajib zu syabhain.
Wajib ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan, wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-mu'ayyan dan al-wajib al-mukhayyar.
a. Al-Wajib al-mu'ayyan
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Artinya, subyek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang lainya. Umpamanya membayar utang. Yang harus dilakukan oleh orang yang berutang adalah melunasi utangnya.
b. Al-Wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu. Contohnya pilihan diantara tiga kemungkinan adalah pilihan di antara memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian untuk 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarat karena pelanggaran sumpah. Firman Allah (QS. Almaidah: 89)


·         Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban yang diperintahkan
Ditinjau daari segi kadar kewajiban yang diperintahkan, wajib dibagi menadi dua macam, yaitu: al-wajib al-muhaddad dan al-wajib ghair al-muhaddad.
a.      Al-Wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i menentukan perbuatan mukallaf itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu. dengan arti bahwa mukallaf belum terlepas dari tanggung jawabnya bila ia telah melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah kecuali melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukn oleh syari'. Umpamanya zakat yang telah ditentukan dan zakat fitrah. Kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah ditentukan kadarnya, dalam arti bila telah terpenuhi syarat-syarat wajib, seseorang harus melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan. Ia belum dianggap melaksanakan kewajibannya kecuali kadar yang sudah ditentukan telah dilaksanakannya.
b.      Al-wajib ghair al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak menentukan ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu. Umpamanya nafkah untuk kerabat. Nafkah kerabat termasuk kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya sebelum hakim menyatakan ukuran kewajibannya, yang menjadi prinsip dalam penetapan kewajiban dalam hal ini adalah menutupi kebutuhan kerabat yang miskin, sekadar kemampuan yang terpikul oleh orang yang wajib menafkahinya.
·         Wajib ditinjau dari segi pertanggungjawaban pelaksanaannya
Ditinjau dari segi dapat tidaknya suatu kewajiban dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-wajib al-qadha'i dan al-wajib ad-diyani.
a. Al-Wajib al-qadha'i
Suatu yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaksanaannya di dunia melalui kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan. Contoh, kewajiban membayar zakat.
b. Al-Wajib ad-diyani
Kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia akan disiksa di akhirat, tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya di dunia. Contoh, kewajiban seorang ibu untuk menyusukan anaknya untuk pertama kali setelah anak itu lahir.
b. Mandub dan macamnya
Sunnah secara etimologi adalah sesuatu yang dianjurkan karena bersifat penting. Sedangkan secara terminologi, mandub adalah:
مَا يُثَابُ عَلَى فَاعِلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَارِكِهِ                                              
Sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannnya.
Mandub dapat dibagi menjadi beberapa segi, yaitu:
·         Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melaksanakan perbuatan   sunnah
1. Al- sunnah al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dijalankan oleh Rasulluah SAW secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dilaksanakan. Umpamanya shalat witir, dua rakaat fajar sebelum shalat shubuh.
2. Al-sunnah ghair al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW, tetapi frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekali dilakukan, sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. Umpamanya memberikan sedekah kepada orang miskin, shalat sunnah empat rakaat sebelum Zuhur dan sebelum Asar.
·         Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan
1.      Sunnah hadyu
Perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianngap sesat atau tercela. Umpamanya shalat berjamaah, shalat hari raya, adzan dan iqomah.
2.      Sunnah zaidah
Perbuatan yang jika dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik, tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanksi apa-apa, seperti cara-cara yang biasa dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan sehari-harinya.



3.      Sunnah nafal
Perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan wajib. Seperti shalat sunnah 2 rakaat yang mengiringi shalat wajib (rawatib), shalat tahajud, witir, dan yang lainnya yang dalam kata lain disebut sunnah ghairu muakkadah.
c. Haram dan macamnya
Secara etimologi haram berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya., terkadang juga digunakan dalam arti larangan. Sedangkan secara terminologi haram adalah :
مَايُثَابُ عَلَى تَارِكِهِ وَيُعَقَابُ عَلَى فَاعِلِهِ                                                     
Sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai dosa bagi orang yang menjalankannya.
Hukum haram dapat dibagi berdasarkan:
·         Haram ditinjau dari segi sumber dalil penetapan hukum haramnya
1. Larangan yang bersumber dari dalil qathi'
Misalnya, larangan memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain sebagainya yang disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah : 3
2. Larangan yang bersumber dari dalil dzanni
Misalnya, larangan memakan keledai peliharaan yang ditetapkan dengan Hadits Ahad, diriwayatkan oleh Bukhari :
Dari Ali r.a. berkata : “ Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah pada tahun khaibar dan (melarang memakan) daging keledai jinak.”
·         Haram ditinjau dari segi esensi perbuatan yang dilarang
1. Haram dzati
Suatu perbuatan yang disengaja oleh Allah SWT mengharamkannya karena terdapat unsur perusak yang langsung mengenai  dharuriyat yang lima.
2. Haram ghairu dzati/'ardhi
Haram yang larangannya bukan karena dzatnya; tidak lansung mengenai unsur dharuriyat. Suatu perbuatan yang hukum syar’inya pada mulanya wujud, nadb, atau ibahah, akan tetapi ada sesuatu hal yang baru menyertainya yang menjadikannya sebagi sesuatu yang haram.


d. Makruh dan macamnya
Makruh secara etimologi berarti sesuatu yang tidak disenangi atau dijahui. Sedangkan secara terminologi, makruh adalah:

مَايُثَابُ عَلَى تَارِكِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى فَاعِلِهِ                                                      
Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.

 Menurut ulama Hanafiyah, makruh terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Makruh tahrim
Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukannya bersifat zhanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari wajib.
2. Makruh tanzih
Segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakannya. Makruh tanzih ini kebalikan dari hukum mandub.

e. Mubah dan macamnya
Secara etimologi mubah adalah menjelaskan, memberitahukan, melepaskan, dan mengijinkan. Sedangkan secara terminologi, muba adalah :

مَا خَيَّرَ الشَّارِعُ الْمُكَلِّفَ بَيْنَ الْفِعْلِ وَالتَّرْكِ فَلَهُ اَنْ يَفْعَلَ وَلَهُ اَنْ لاَ يَفْعَلَ                     
Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk memilih antara mmemperbuat dan meninggalkan, ia boleh melakukan atau tidak.
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
Hukum mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
1.   Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara', dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya.
2.   Perbuatan yang tidak ada dalil syara' menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah (tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syari' tentang kebolehan atau ketidak bolehannya. Contohnya, mendengarkan dan mempergunakan radio.
Imam Asy Syatibi membagi mubah ditinjau dari segi penggunaannya menjadi empat bagian, yaitu:
a.    Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut dengan mubah juz'i (temporer), tapi secara kully (keseluruhan) diperintahkan seperti makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk meninggalkan selama-lamanya.
b.   Mubah yang dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang  dilarang. Secara temporer perbuatan tersebut diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan dikerjakan terus menerus. Seperti bergurau, mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi seorang yang berakal sehat tidak boleh menghabiskan waktunya untuk senda gurau, mendengarkan radio, rekreasi dan sebagainya.
c.    Mubah yang dipergunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
d.    Mubah yang tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.
Hanya saja, menurut Imam Asy Syatibi, bagian yang ketiga dan keempatini tidak ada wujudnnya secara nyata (al-muwafaqat, juz I, hal, 141-142).

C. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
     Pengertian
Sebelumnya telah disinggung secara umum, yang dimaksud dengan hukum wadh'i adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain, menjadi syarat baginya, penghalang baginya atau sebagai keringanan baginya.
Pembagian
Hukum wadh'i terbagi dalam lima bagian, di antaranya : sebab, syarat, mani', rukhshah dan 'azimah, sah dan bathal.

a. Sebab dan macamnya
Sabab secara lughowi berarti sesuatuyang dapat menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam arti istilah dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:[8]
اَلاَمْرُ الظَّاهِرُ الْمَنْضَبِطُ الَّذِىْ جَعَلهُ الشَّارِعُ اَمَا رَةً لِوُجُوْدِ الْحُكْمِ بِحَيْثُ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْمُسَبَّبِ اَوْ الْحُكْمِ وَيَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْمُسَبَّبِ اَوْالْحُكْمِ                  
Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya hukum itu ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Macam-macam sebab:
·         Sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf
Sebab yang di jadikan Allah SWT.sebagai pertanda atas adanya hukum.kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu yang dijadikan pertanda untuk hukum oleh Allah SWT. Umpamanya tergelincirnua matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra:78
·         Sebab yang berasal dari perbuatan manusia
Sebab dalam bebtuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya, perbuatan mukallaf yang nyata dijadikan pertanda adanya hukum.  Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-qasar shalat. Perjalanan itu disebut sebab ia adalah perbuatan mukallaf yang dilakukannya dengan sadar dalam kemampuannya. Akibat adanya sebab ini dijadikan Allah adanya rukhsah melakukan shalat.

b. Syarat dan macamnya
Abu zahrah mengemukakan definisi Syarat yang lebih mudah dimengerti, yaitu:

اَلاَمْرُ الَّذِىْ يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ وُجُوْدُ الْحُكْمِ يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْحُكْمِ، وَلاَ  يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْحُكْمِ                                                                                         
Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya huku; lazim dengan tidak adanya, tidak ada hukum, tapi tidaklah lazim dengan adanya, ada hukum.
Dari satu segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hokum tergantung kepada adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hokum pun tidak ada. Perbedaan antara keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
 Contohnya syarat wali dalam pernikahan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan lainnya. Contoh sebab umpamanya masuk waktu bagi datangnya kewajiban shalat; dan dengan masuknya waktu pasti dating kewajiban shalat.
Syarat itu ada tiga bentuk:
1.                                                                                            syarat ‘aqly (الشرط العقلى)  
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paha menjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
2.                                                                                            syarat ‘ady (الشرط العادى)
Berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3.                                                                                            syarat syar’I (الشرط الشرعى)
Syarat berdasarkan penetapan syara’, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat. Bentuk yang ketiga inilah yang menjadi pokok pembahasan di sini.
c. Mani' dan macamnya
اَمْرُ الشَّرْعِيِّ الَّذِىْ يُنَافِيْ وُحُوْدُهُ الْغَرَضَ الْمَقْصُوْدَ مِنَ السَّبَبِ اَوِ الْحُكْمِ                
Sesuatu yang dari segi hukum, keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum.
Telah dijelaskan bahwa sebab mempunyai kaitan erat dengan hokum yang menjadi akibat dari sebab itu. Artinya, bila sudah terdapat seba, maka hokum pun pasti ada. Keberadaan hokum pun masih bergantung kepada hal-hal lain yang harus di penuhi untuk sahnya kelangsungan hokum itu.
   Meskipun sudah terdapat sebab dan terpenuhi syarat belum tentu dapat dipastikan berlangsungnya hokum, karena mungkin ada hal-hal lain yang menyebabkan sebabnya menjadi tidak berarti atau hukumnya dianggap tidak terlaksana. Umpamanya hubungan kerabat dengan seseorang yang mati menyebabkan berlakunya suatu hokum, yaituhak kewarisan. Tetapi bila kematian yang mati itu disebabkan oleh perbuatan kerabatnya yang hidup itu, maka hubungan kewarisan tidak berlaku. Perbuatan pembunuhan itu dinamai mani’ atau penghalang terhadap kelangsungan hokum.
Dari definisi di atas tersebut ada dua macam mani’ bila dilihat dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya, yaitu:
1. Mani' yang berpengaruh terhadap sebab, dalam arti adanya mani’ mengakibatkan “sebab” tidak dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya musabab atau hokum pun tidak akan ada karena dia mengikut kepada sebab.
2. Mani' yang berpengaruh terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum meskipun ada sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya keadaan pembunuh adalah ayah si korban menghalangi atau menolak berlakunya hukum qishash meskipun sebab untuk adanya hukum qishash yaitu pembunuhan tetap berlaku dalam kasus ini. Semestinya dengan adanya sebab itu (pembunuhan), tentu ada hukumnya (wajib qishash). Namun hukum dalam hal ini tidak ada karena adanya mani’ (si pembunuh adalah ayah si korban), sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi: “Tidaklah diqishash seseorang ayah karena membunuh anaknya”
D. Rukhshah dan 'Azimah serta macamnya
                  Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhsah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanyahal-hal yang memberatkan dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).
مَا شُرِعَ مِنَ الْاَحْكَامِ للتخفيف عن العباد فياحوال خاصة                               
Hukum-hukum yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keaadan tertentu.
          Rukhsah diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain.
                            Ulama Ushul Fiqih mengelompokkan rukhsah menjadi empat bagian, yaitu:
a.       Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena ada hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf. Misalnya, barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (QS. An Nahl:106)
b.  pembolehan meninggalkan yang wajib karena udzur, dimana jika melaksanakan kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukallaf. Misalnya, orang sakit atau sedang bepergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah (QS. Al Baqarah: 184)
c.  Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat dalam kehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jual –beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada prinsipnya, jual-beli seperti ini tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu transaksi jual-beli yaitu barang yang akan diperjualbelikan itu ada di saat transaksi dilakukan, tetapi karena hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka perikatan tersebut disahkan secara rukhsah. Ini sesuai dengan hadits Nabi:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم: عن بيع الإنسان ما ليس عنده
 و رخص فى السلم
Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi, namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli pesanan
e.  Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat terdahulu, misalnya kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di masjid, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lagi berlaku terhadap umat islam, sebagai rukhsah bagi mereka. Karena itu, kalau ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam, mereka akan banyak sekali menemukan kesulitan yang memberatkan.hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam (QS. Al Baqarah: 286)
           ‘Azimah
                                     ما شرع من الاحكام الكلية ابتداء          
Suatu ketentuan yang sejak semula disyari'atkan sebagai ketentuan         hukum yang umum
        Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain) yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai- menurut hukum asalnya- adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.
Hukum ‘Azimah dan Rukhsah
Selama tidakada hal-halyang menyebabkan adanya rukhsah seorang mukallaf diharuskan mengambil ‘azimah,karena memang begitulah ketentuan-keentuan pokok dari Allah dalam mensyari’atkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhsah. Misalnya,  seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hokum asalnya adalah haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga memakan bangkai itu hukumnya haram bagi orang tersebut. Maka dengan sendirinya hukum rukhsoh tersebut   adalah mubah. Ketentuan ini terdapat dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah:173
E. MAHKUM ‘ALAIH
1. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang diebani hukum, sedangkan dalam istlah ushul Fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ’alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dnegan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.
2.      Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak heran jika sebagian besar ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Orang yang belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya).yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa karena dalam keadaan tidak sadar.

Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf dapat dikenai taklif jika telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a.   Orang itu telah memahami khithab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam
al-Qur’an dan sunnah
b.   Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul Fiqh disebut ahlun
li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif (Amir Syarifuddin, 2008: 390). Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu bertindak hukum, belum atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.      Ahliyyah
Secara Adapun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushul fiqih harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara termonologi ahliyyah adalah sifat yang menujukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Menurut para ulama ushul fiqh, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
1.       Ahliyyah al-ada’, yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat posiif maupun negativ.
2.       Ahliyah al-Wajib, yaitu sifat dan kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
 Para ahli ushul fiqih membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian:
1.       ahliyyah al-wujub al-naqishah, yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Para ulama Ushul sepakat, ada empat hak bagi seorang janin, yaitu: (a) hak keturunan dari ayahnya; (b) hak warisan dari pewarisan yang meninggal dunia. (c) wasiat yang ditujukan kepadanya; dan (d) harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2.       ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih seperti orang gila.

4.      Halangan (‘Awaridl) Ahliyyah
Ulama ushul menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
1.  Awaridh al-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian), dan lupa;
2.   Awaridh al-muktasabah, yaitu halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa .
a. Halangan yang dapat menyebbakan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali, sepeti gila, tidur, dan terpaksa., bersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.
b. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang
seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum.
c.       Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang berutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh.
F.  HAKIM
1.     Pengertian Hakim
Secara etimologi, hakim memiliki dua arti, yaitu:
v  “Pembuat hukum yang menetapkan dan memunculkan sumber hukum”.
v  “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalahAllah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun yang berkaitan dengan hukum wadl’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal fasid, ‘azimah dan rukhshah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah.
Dalam hal ini para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:
Artinya, “Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”.

2.   Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at       
Dalam menentukan kemampuan akal untuk menetapkan hukum sebelum turunnya
syari’at, para ulama terbagi kepada tiga golongan:
1.       menurut ahlu sunnah waljama’ah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya dapat menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainya.
2.       Mu’tazilah berpendapat bahwa akal dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan seelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehinga akal dapat menentukan syari’at. Menurut kaum Mu’tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu itu baik ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara’.
3.      Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada zatnya. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang buruk pada zatnya.









G.  MAHKUM BIH DAN MAHKUM FIH
1.          Pengertian Mahkum Bih dan Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan
dan bukan pada dzat.
2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Perbuatan, sebagai objek hukum itu melekat pada manusia, hingga bila pada suatu
perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif.
Para ulama Ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat
ditangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakannya. Misalnya, seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat sebelum ia tahu rukun, syarat, dan kaifiyah sholat.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanankan titah Allah semata.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditingalkan dan berada dalam kemampuannya untuk dilaksanakan.
2.      Macam-macam Mahkum Bih
Para ulama ushul membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Dari segi keberadaanya dan syara’, mahkum bih terdiri dari:
1.       Perbuatn yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkaitdengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatanmukallaf tetapi perbuatan makan dan minum itu tidak terkait dengan hukum syara’.
2.   Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishash;
3.   Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat;
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual-beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan, maka mahkum bih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak yang semata-mata hak Allah ini menurut ulama ushul fiqh ada 8 macam, yaitu:
 (1) ibadah mahdlah, seperti rukun iman dan rukun islam.
 (2) ibadah yang didalmnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti zakat fitrh.
 (3) Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil bumi.
 (4) Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap hukuman bagi orang-orang yang tidak ikut jihad.
 (5) Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindakan pidana seperti dera/ rajam sebagai hukuman berbuat zina.
 (6) Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi hak waris karena ia membunuh pemilik harta.
 (7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah dan
 (8) Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, termasuk hak Allah, dan dari sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, termasuk hak hamba.
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.

3. Kaitan objek hukum dengan pelaku perbuatan
Setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu. Dapat tidaknya taklif itu dilakukan oleh orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini, objek hukum terbagi tiga:
a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri prinadi yang dikenai taklif;
umpamanya shalat dan puasa
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dnegan harta benda pelaku taklif
umpamanya kewajiban zakat.
c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diir pribadi dan harta dari pelaku
taklif  umpamanya kewajiban haji.
















BAB III
PENUTUP

 KESIMPULAN
      Hukum syara’ secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan.
Sedangkan asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran air sungai.
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan hukum adalah Titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang ditetapkan).
      Hukum syara’ terbagi dua, yaitu:
a. Hukum Taklifi
b. Hukum Wadh’i
      Hukum Taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau takhyir (pilihan). Hukum Taklifi terbagi lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
      Hukum wadh’I ialah titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang macam, di antaranya : sebab, syarat, mani' rukhshah dan ‘azimah, dan sah dan bathal.
rukhsah adalah perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanyahal-hal yang memberatkan dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).
مَا شُرِعَ مِنَ الْاَحْكَامِ للتخفيف عن العباد فياحوال خاصة                               
Hukum-hukum yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keaadan tertentu.
          Rukhsah diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain.

           ‘Azimah
                                     ما شرع من الاحكام الكلية ابتداء          
Suatu ketentuan yang sejak semula disyari'atkan sebagai ketentuan         hukum yang umum
        Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain) yang mendahuluinya
Mahkum ‘alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab Allah Ta’ala, yang disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang diebani hukum, sedangkan dalam istlah ushul Fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ’alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dnegan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.
Hakim Secara etimologi, hakim memiliki dua arti, yaitu:
v  “Pembuat hukum yang menetapkan dan memunculkan sumber hukum”.
v  “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalahAllah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun yang berkaitan dengan hukum wadl’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal fasid, ‘azimah dan rukhshah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah.



Mahkum Bih dan Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan objek hukum atau mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan
dan bukan pada dzat.
























DAFTAR PUSTAKA

Zahrah, Muhammad Abu, 1995,Ushul al-fiqh, Jakarta:Pustaka Firdaus.
Syarifuddin, Amir, 2009 ushul Fiqh Jakarta:Kencana.
Koto, Alaiddin,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Uman,Khaeruldkk, ushul fiqih, 1998. Bandung:Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, 1994, Dina Utama: Semarang
Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqh, 2010, Amzah : Jakarta




[1] Dr.H.Abdurrahman Dahlan,Ushul Fiqh,hal.33
[2] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,hal.
[3]Ibid, hal.362
[4] Dr.H.Abdurrahman Dahlan,Ushul Fiqih,hal.60
[5] Prof.Abdul Wahab Khallaf,Ushul Fiqh,hal.164
[6] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004, hal.47
[7]Ibid, hal. 48
[8] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana, 2009), hal. 394   
[9] Ibid, hal: 400
[10] Alaidin Koto, op.cit, hal. 54
[11] Ibid, hal.56
[12] Ibid,hal. 56
[13] Khaerul Uman dkk, ushul fiqih, Bandung, Pustaka Setia: 1998, h. 250
[14] Dr.H.Abdurrahman Dahlan,Ushul Fiqh,hal.33
[15] Uman, Khaerul dkk, ushul fiqih, Bandung, Pustaka Setia: 1998, h. 250

Tidak ada komentar:

Posting Komentar