B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hukum syara'
2. Hukum Taklifi dan pembagiannya
3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan inti dari ilmu fiqh dan Ushul Fiqih. Sasaran
kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan
perbuatan orang mukallaf, meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqih
meninjau hukum syara' dari segi methodologinya dan sumber-sumbernya, sementara
ilmu fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan
Allah yang berhubungan dengan pebuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha'
(tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa
wadh'i (sebab akibat). Yang dimaksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang
telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah,sah,
batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan-ungkapan lain yang
dijelaskan pada pembahasan berikut. Kesemuanya itu merupakan objek pembahasan
ilmu Ushul Fiqih.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hukum syara'
2. Hukum Taklifi dan pembagiannya
3. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
4. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i
5. Pengertian Azimah
6. Pengertian Hakim Dan Mahkum Bih
7. Pengertian Mahkum Alaih
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Syara'
Secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti
mencegah, memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Sedangkan asy-syara’ yaitu
jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran air sungai.
Secara terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud
dengan hukum adalah :
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ
بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ اقْتِضَاءً أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْعًا
Titah Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf,
baik dalam bentuk iqtidla’ (tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i
(ketentuan yang ditetapkan).
Menurut Ulama fiqh, hukum syara’ mempunyai arti sifat-sifat
dari suatu perbuatan mukallaf yang ditetapkan Allah, misalnya: wajib,
sunnah,haram,makruh, dan mubah.
Hukum syara’ menurut para ahli ilmu ushul fiqih ialah :
Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
dalam bentuk tuntunan, pilihan dan ketetapan.
Jadi, yang dimaksud Hukum Syara’ adalah firman (titah) Allah
SWT (termasuk juga Hadits-hadits Nabi SAW) yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf, baik dalam bentuk thalab (tuntutan/perintah utntuk melakukan
perbuatan, ataupun larangan meninggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir
(pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu pebuatan), dan wadl’i
(ketentuan syari’ah dalam bentuk penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
halangan dari suatu perbuatan tertentu.
Ulama ushul fiqh memberi nama istilah
terhadap hukum yang berkaitan dengan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan
sebagai : hukum taklifi, dan menyebut hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf dari segi penetapan sebagai : hukum wadh'i. Oleh karena inilah, maka mereka
menetapkan bahwasannya hukum syara' terbagi menjadi dua bagian.
B. Hukum Taklifi dan Pembagiannya
1. Hukum Taklifi
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu
pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan
kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Sedang bentuk perintah atau larangan
itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti jika perintah itu berbentuk
pasti, maka disebut wajib, jika tidak pasti disebut mandub (sunnah).
Demikian juga dengan larangan, bila berbentuk pasti maka disebut haram, bila
tidak pasti disebut makruh. Sedang yang dimaksud takhyir (pilihan)
adalah hukum mubah
Penjelasan
yang terperinci mengenai hukum taklifi di atas dapat dibagi menjadi lima macam
yaitu, wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
a. Wajib dan macamnya
Secara etimologi wajib berarti tetap. Sedangkan secara
terminologi:
اَلْفِعْلُ الْمَطْلُوْبُ عَلَى
وَجْهِ اللُّزُوْمِ بِحَيْثُ فَاعِلُهُ وَيُعَاقَبُ تَارِكهُ
Wajib adalah perbuatan yang dituntut
Allah SWT untuk dilakukan oleh mukallaf dengan sifat mesti (tidak boleh tidak )
dilakukan, yang jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala,
dan jika ia meninggalkan, maka ia dikenakan dosa.
Hukum wajib dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya:
·
Wajib ditinjau dari segi pelaksanaannya
Ditinjau dari segi orang yang melaksanakan hukum wajib, maka
wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-'aini dan
al-wajib al-kafa'i.
a. Al-Wajib al-'aini الواجب العيني
Suatu perbuatan yang dituntut
asy-syar’i (Allah dan RasulNya) untuk dikerjakan oleh setiap individu mukallaf.
Kewajiban itu harus dilakukan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh
orang lainatau karena perbuatan orang lain. Umpamanya shalat dan puasa.
b. Al-Wajib al-kafa'i
الواجب الكفائ
Suatu perbuatan yang dituntut asy-syar’i untuk dikerjakan
oleh sekumpulan mukallaf, bukan oleh setiap individu mukallaf. Umpamanya
melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, sholat jenazah dan lain-lain.
·
Wajib ditinjau dari segi waktu
pelaksanaannya
Ditinjau
dari segi pelaksanaannya, wajib dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib
al-muthlaq dan wajib al-mu'aqqat.
a. Al-Wajib al-muthlaq(الواجب المطلق)
Kewajiban yang
tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu
pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya.
Umpamanya meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena udzur. Ia
wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.
b.
Al-Wajib al-mu'aqqat (الواجب المؤقت)
Kewajiban yang waktu pelaksanaannya
ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang
telah ditentukan itu.
Dalam pada itu, wajib mu'aqqat ini dibagi pula kepada tiga
macam, antara lain: al-wajib al-muwassa', al-wajib al-mudhayyaq, dan
al-wajib zu syabhain.
Wajib ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan
Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang diperintahkan, wajib dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu: al-wajib al-mu'ayyan dan al-wajib al-mukhayyar.
a. Al-Wajib al-mu'ayyan
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu. Artinya, subyek hukum baru dinyatakan telah
menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan
tidak ada pilihan untuk melakukan yang lainya. Umpamanya membayar utang. Yang harus
dilakukan oleh orang yang berutang adalah melunasi utangnya.
b. Al-Wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban yang asy-syar’i memerintahkan untuk
melakukan salah satu dari beberapa perbuatan tertentu. Contohnya pilihan diantara tiga
kemungkinan adalah pilihan di antara memberi makan 10 orang miskin atau memberi
pakaian untuk 10 orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya sebagai kafarat
karena pelanggaran sumpah. Firman Allah (QS. Almaidah: 89)
·
Wajib ditinjau dari segi kadar kewajiban
yang diperintahkan
Ditinjau daari segi kadar kewajiban
yang diperintahkan, wajib dibagi menadi dua macam, yaitu: al-wajib
al-muhaddad dan al-wajib ghair al-muhaddad.
a. Al-Wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i menentukan perbuatan
mukallaf itu berdasarkan kadar/ukuran tertentu. dengan arti bahwa mukallaf
belum terlepas dari tanggung jawabnya bila ia telah melaksanakannya sesuai
dengan jumlah yang telah kecuali melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang
telah ditentukn oleh syari'. Umpamanya zakat yang telah ditentukan dan zakat
fitrah. Kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah ditentukan kadarnya,
dalam arti bila telah terpenuhi syarat-syarat wajib, seseorang harus
melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan. Ia belum dianggap melaksanakan
kewajibannya kecuali kadar yang sudah ditentukan telah dilaksanakannya.
b. Al-wajib ghair al-muhaddad
Suatu kewajiban yang asy-syar’i tidak menentukan
ukuran/kadar kewajiban itu secara tertentu. Umpamanya nafkah untuk kerabat.
Nafkah kerabat termasuk kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya sebelum hakim
menyatakan ukuran kewajibannya, yang menjadi prinsip dalam penetapan kewajiban
dalam hal ini adalah menutupi kebutuhan kerabat yang miskin, sekadar kemampuan
yang terpikul oleh orang yang wajib menafkahinya.
·
Wajib ditinjau dari segi
pertanggungjawaban pelaksanaannya
Ditinjau
dari segi dapat tidaknya suatu kewajiban dimintakan pertanggungjawaban
pelaksanaannya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-wajib al-qadha'i
dan al-wajib ad-diyani.
a. Al-Wajib al-qadha'i
Suatu yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
pelaksanaannya di dunia melalui kekuasaan pemerintah atau keputusan pengadilan.
Contoh, kewajiban membayar zakat.
b. Al-Wajib ad-diyani
Kewajiban yang jika tidak dilaksanakan, maka ia akan
disiksa di akhirat, tetapi kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan
pelaksanaannya di dunia. Contoh, kewajiban seorang ibu untuk menyusukan anaknya
untuk pertama kali setelah anak itu lahir.
b. Mandub dan macamnya
Sunnah secara etimologi adalah
sesuatu yang dianjurkan karena bersifat penting. Sedangkan secara terminologi,
mandub adalah:
مَا يُثَابُ
عَلَى فَاعِلِهِ وَلاَ يُعَاقَبُ عَلَى
تَارِكِهِ
Sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
disiksa orang yang meninggalkannnya.
Mandub dapat dibagi menjadi beberapa segi, yaitu:
·
Dari segi selalu dan tidak selalunya
Nabi melaksanakan perbuatan sunnah
1. Al- sunnah al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dijalankan oleh Rasulluah SAW
secara kontinyu, tetapi beliau menjelaskan bahwa hal tersebut bukan
fardhu yang harus dilaksanakan. Umpamanya shalat witir, dua rakaat fajar sebelum shalat
shubuh.
2. Al-sunnah ghair al-muakkadah
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW, tetapi
frekuensi perbuatan tersebut tidak bersifat rutin dan hanya sesekali dilakukan,
sehingga bukan merupakan kebiasaan beliau. Umpamanya memberikan sedekah kepada
orang miskin, shalat sunnah empat rakaat sebelum Zuhur dan sebelum Asar.
·
Dari segi kemungkinan meninggalkan
perbuatan
1. Sunnah
hadyu
Perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu
besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianngap sesat
atau tercela. Umpamanya shalat berjamaah, shalat hari raya, adzan dan iqomah.
2. Sunnah
zaidah
Perbuatan yang jika dilakukan oleh mukallaf dinyatakan
baik, tetapi bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi sanksi
apa-apa, seperti cara-cara yang biasa dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan
sehari-harinya.
3. Sunnah
nafal
Perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan
wajib. Seperti shalat sunnah 2 rakaat yang mengiringi shalat wajib (rawatib),
shalat tahajud, witir, dan yang lainnya yang dalam kata lain disebut sunnah
ghairu muakkadah.
c. Haram dan macamnya
Secara etimologi haram berarti
sesuatu yang lebih banyak kerusakannya., terkadang juga digunakan dalam arti
larangan. Sedangkan secara terminologi haram adalah :
مَايُثَابُ عَلَى تَارِكِهِ وَيُعَقَابُ
عَلَى
فَاعِلِهِ
Sesuatu yang diberi pahala orang
yang meninggalkannya dan dikenai dosa bagi orang yang menjalankannya.
Hukum
haram dapat dibagi berdasarkan:
·
Haram ditinjau dari segi sumber
dalil penetapan hukum haramnya
1. Larangan yang bersumber dari
dalil qathi'
Misalnya, larangan memakan bangkai, darah, daging babi,
dan lain sebagainya yang disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah : 3
2. Larangan yang bersumber dari
dalil dzanni
Misalnya, larangan memakan keledai peliharaan yang
ditetapkan dengan Hadits Ahad, diriwayatkan oleh Bukhari :
Dari Ali r.a. berkata : “ Rasulullah SAW melarang nikah
mut’ah pada tahun khaibar dan (melarang memakan) daging keledai jinak.”
·
Haram ditinjau dari segi esensi
perbuatan yang dilarang
1. Haram dzati
Suatu perbuatan yang disengaja oleh Allah SWT
mengharamkannya karena terdapat unsur perusak yang langsung mengenai dharuriyat
yang lima.
2. Haram ghairu dzati/'ardhi
Haram yang larangannya bukan karena dzatnya; tidak
lansung mengenai unsur dharuriyat. Suatu perbuatan yang hukum syar’inya
pada mulanya wujud, nadb, atau ibahah, akan tetapi ada sesuatu hal yang baru
menyertainya yang menjadikannya sebagi sesuatu yang haram.
d. Makruh dan macamnya
Makruh secara etimologi berarti sesuatu yang tidak disenangi
atau dijahui. Sedangkan secara terminologi, makruh adalah:
مَايُثَابُ عَلَى تَارِكِهِ وَلاَ
يُعَاقَبُ عَلَى
فَاعِلِهِ
Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan
dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.
Menurut ulama Hanafiyah, makruh
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Makruh tahrim
Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang
menunjukannya bersifat zhanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari wajib.
2. Makruh tanzih
Segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakannya.
Makruh tanzih ini kebalikan dari hukum mandub.
e. Mubah dan macamnya
Secara etimologi mubah adalah menjelaskan, memberitahukan,
melepaskan, dan mengijinkan. Sedangkan secara terminologi, muba adalah :
مَا خَيَّرَ الشَّارِعُ الْمُكَلِّفَ
بَيْنَ الْفِعْلِ وَالتَّرْكِ فَلَهُ اَنْ يَفْعَلَ وَلَهُ اَنْ لاَ
يَفْعَلَ
Sesuatu yang diberi kemungkinan oleh
pembuat hukum untuk memilih antara mmemperbuat dan meninggalkan, ia boleh
melakukan atau tidak.
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang
diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum,
mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
Hukum
mubah ditetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:
1. Perbuatan yang
ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara', dan manusia diberi kebebasan
untuk melakukan atau tidak melakukannya.
2. Perbuatan yang tidak
ada dalil syara' menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah
melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah
(tanda-tanda) atas diperbolehkannya perbuatan tersebut.
Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syari'
tentang kebolehan atau ketidak bolehannya. Contohnya, mendengarkan dan mempergunakan
radio.
Imam Asy Syatibi membagi mubah ditinjau dari segi
penggunaannya menjadi empat bagian, yaitu:
a. Mubah yang
dipergunakan untuk melayani suatu perintah yang diwajibkan, yang disebut dengan
mubah juz'i (temporer), tapi secara kully (keseluruhan)
diperintahkan seperti makan dan nikah, seseorang tidak diperbolehkan untuk
meninggalkan selama-lamanya.
b. Mubah yang
dipergunakan untuk melayani suatu perbuatan yang dilarang. Secara temporer perbuatan
tersebut diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan dikerjakan terus menerus.
Seperti bergurau, mendengarkan radio diperbolehkan secara temporer, tetapi
seorang yang berakal sehat tidak boleh menghabiskan waktunya untuk senda gurau,
mendengarkan radio, rekreasi dan sebagainya.
c. Mubah yang
dipergunakan untuk melayani perbuatan yang mubah.
d. Mubah yang
tidak dipergunakan untuk melayani apa-apa.
Hanya saja, menurut Imam Asy Syatibi, bagian yang ketiga dan
keempatini tidak ada wujudnnya secara nyata (al-muwafaqat, juz I, hal,
141-142).
C. Hukum Wadh'i dan pembagiannya
Pengertian
Sebelumnya telah disinggung secara
umum, yang dimaksud dengan hukum wadh'i adalah sesuatu yang menuntut penetapan
sesuatu sebagai sebab sesuatu yang lain, menjadi syarat baginya, penghalang
baginya atau sebagai keringanan baginya.
Pembagian
Hukum wadh'i terbagi dalam lima
bagian, di antaranya : sebab, syarat, mani', rukhshah dan 'azimah, sah dan
bathal.
a. Sebab dan macamnya
Sabab secara lughowi berarti sesuatuyang dapat
menyampaikan kepada apa yang dimaksud. Dalam arti istilah dikemukakan oleh para
ahli sebagai berikut:[8]
اَلاَمْرُ الظَّاهِرُ الْمَنْضَبِطُ
الَّذِىْ جَعَلهُ الشَّارِعُ اَمَا رَةً لِوُجُوْدِ الْحُكْمِ بِحَيْثُ يَلْزَمُ
مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الْمُسَبَّبِ اَوْ الْحُكْمِ وَيَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ
عَدَمُ الْمُسَبَّبِ اَوْالْحُكْمِ
Sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan
pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum, lazim dengan adanya hukum itu ada
hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada hukum.
Macam-macam sebab:
·
Sebab yang bukan berasal dari
perbuatan mukallaf
Sebab yang di jadikan Allah
SWT.sebagai pertanda atas adanya hukum.kita tidak dapat mengetahui kenapa hal
itu yang dijadikan pertanda untuk hukum oleh Allah SWT. Umpamanya
tergelincirnua matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur sebagaimana firman
Allah dalam surat Al Isra:78
·
Sebab yang berasal dari perbuatan
manusia
Sebab dalam bebtuk perbuatan
mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat hukumnya. Artinya, perbuatan
mukallaf yang nyata dijadikan pertanda adanya hukum. Umpamanya keadaan
dalam perjalanan menjadi sebab bolehnya meng-qasar shalat. Perjalanan
itu disebut sebab ia adalah perbuatan mukallaf yang dilakukannya dengan sadar
dalam kemampuannya. Akibat adanya sebab ini dijadikan Allah adanya rukhsah melakukan
shalat.
b. Syarat dan macamnya
Abu zahrah
mengemukakan definisi Syarat yang lebih mudah dimengerti, yaitu:
اَلاَمْرُ الَّذِىْ يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ وُجُوْدُ الْحُكْمِ
يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ عَدَمُ الْحُكْمِ، وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ
وُجُوْدُ الْحُكْمِ
Sesuatu yang tergantung kepadanya
adanya huku; lazim dengan tidak adanya, tidak ada hukum, tapi tidaklah lazim
dengan adanya, ada hukum.
Dari satu
segi, syarat sama dengan sebab, yaitu “hokum tergantung kepada adanya”,
sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hokum pun tidak ada. Perbedaan antara
keduanya terdapat pada adanya sebab atau syarat itu. Pada sebab, keberadaannya
melazimkan adanya hukum, tetapi adanya syarat belum tentu adanya hukum.
Contohnya
syarat wali dalam pernikahan yang menurut jumhur ulama merupakan syarat. Dengan
tidak adanya wali pasti nikah tidak akan sah, tetapi dengan adanya wali belum
tentu nikah itu sah karena masih ada syarat lain seperti saksi, akad, dan
lainnya. Contoh sebab umpamanya masuk waktu bagi datangnya kewajiban shalat;
dan dengan masuknya waktu pasti dating kewajiban shalat.
Syarat itu ada tiga bentuk:
1.
syarat ‘aqly (الشرط العقلى)
seperti
kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya paha menjadi syarat
untuk adanya taklif atau beban hukum.
2.
syarat ‘ady (الشرط العادى)
Berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti
bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat
berlangsungnya kebakaran.
3.
syarat
syar’I (الشرط الشرعى)
Syarat berdasarkan penetapan syara’, seperti sucinya
badan menjadi syarat untuk shalat. Nisab menjadi syarat wajibnya zakat. Bentuk
yang ketiga inilah yang menjadi pokok pembahasan di sini.
c. Mani' dan macamnya
اَمْرُ الشَّرْعِيِّ الَّذِىْ يُنَافِيْ وُحُوْدُهُ الْغَرَضَ
الْمَقْصُوْدَ مِنَ السَّبَبِ اَوِ
الْحُكْمِ
Sesuatu yang dari segi hukum,
keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab atau hukum.
Telah
dijelaskan bahwa sebab mempunyai kaitan erat dengan hokum yang menjadi akibat
dari sebab itu. Artinya, bila sudah terdapat seba, maka hokum pun pasti ada.
Keberadaan hokum pun masih bergantung kepada hal-hal lain yang harus di penuhi
untuk sahnya kelangsungan hokum itu.
Meskipun sudah terdapat
sebab dan terpenuhi syarat belum tentu dapat dipastikan berlangsungnya hokum,
karena mungkin ada hal-hal lain yang menyebabkan sebabnya menjadi tidak berarti
atau hukumnya dianggap tidak terlaksana. Umpamanya hubungan kerabat dengan
seseorang yang mati menyebabkan berlakunya suatu hokum, yaituhak kewarisan.
Tetapi bila kematian yang mati itu disebabkan oleh perbuatan kerabatnya yang
hidup itu, maka hubungan kewarisan tidak berlaku. Perbuatan pembunuhan itu
dinamai mani’ atau penghalang terhadap kelangsungan hokum.
Dari definisi di atas tersebut ada
dua macam mani’ bila dilihat dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya,
yaitu:
1. Mani' yang berpengaruh
terhadap sebab, dalam arti adanya mani’ mengakibatkan “sebab” tidak
dianggap berarti lagi. Dengan tidak berartinya sebab itu dengan sendirinya
musabab atau hokum pun tidak akan ada karena dia mengikut kepada sebab.
2. Mani' yang berpengaruh
terhadap hukum, dalam arti menolak adanya hukum meskipun ada sebab yang
mengakibatkan adanya hukum. Umpamanya keadaan pembunuh adalah ayah si korban
menghalangi atau menolak berlakunya hukum qishash meskipun sebab untuk
adanya hukum qishash yaitu pembunuhan tetap berlaku dalam kasus ini.
Semestinya dengan adanya sebab itu (pembunuhan), tentu ada hukumnya (wajib qishash).
Namun hukum dalam hal ini tidak ada karena adanya mani’ (si pembunuh
adalah ayah si korban), sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi: “Tidaklah
diqishash seseorang ayah karena membunuh anaknya”
D. Rukhshah dan 'Azimah serta
macamnya
Rukhshah
Yang
dimaksud dengan rukhsah adalah perturan-peraturan yang tidak
dilaksanakan karena adanyahal-hal yang memberatkan dalam menjalankan ‘azimah.
Dengan kata lain, rukhsah ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).
مَا شُرِعَ مِنَ الْاَحْكَامِ للتخفيف
عن العباد فياحوال خاصة
Hukum-hukum
yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keaadan tertentu.
Rukhsah
diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka
bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah
itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan
pertimbangan-pertimbangan lain.
Ulama Ushul Fiqih mengelompokkan rukhsah
menjadi empat bagian, yaitu:
a.
Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau
karena ada hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukallaf.
Misalnya, barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan,
dibolehkan baginya mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman
kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: (QS. An Nahl:106)
b. pembolehan
meninggalkan yang wajib karena udzur, dimana jika melaksanakan kewajiban itu
akan menimbulkan kesulitan bagi si mukallaf. Misalnya, orang sakit atau
sedang bepergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan
firman Allah (QS. Al Baqarah: 184)
c. Pemberian
pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat dalam
kehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jual –beli yang belum ada
pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada
prinsipnya, jual-beli seperti ini tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya
suatu transaksi jual-beli yaitu barang yang akan diperjualbelikan itu ada di
saat transaksi dilakukan, tetapi karena hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan
oleh masyarakat maka perikatan tersebut disahkan secara rukhsah. Ini
sesuai dengan hadits Nabi:
نهى رسول
الله صلى الله عليه وسلم: عن بيع
الإنسان ما ليس عنده
و رخص فى السلم
“Rasul melarang manusia
menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi, namun beliau memberi
dispensasi untuk jual beli pesanan”
e. Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat
terdahulu, misalnya kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat seperempat
harta, tidak boleh shalat selain di masjid, dan lain sebagainya. Semuanya itu
tidak lagi berlaku terhadap umat islam, sebagai rukhsah bagi mereka.
Karena itu, kalau ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat
islam, mereka akan banyak sekali menemukan kesulitan yang memberatkan.hal ini
diisyaratkan oleh Allah dalam (QS. Al Baqarah: 286)
‘Azimah
ما شرع من الاحكام الكلية
ابتداء
Suatu ketentuan yang sejak semula
disyari'atkan sebagai ketentuan
hukum yang umum
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri
atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap
mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau
pertimbangan lain) yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai- menurut hukum
asalnya- adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga
dengan hukum pokok.
Hukum
‘Azimah dan Rukhsah
Selama
tidakada hal-halyang menyebabkan adanya rukhsah seorang mukallaf
diharuskan mengambil ‘azimah,karena memang begitulah ketentuan-keentuan
pokok dari Allah dalam mensyari’atkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang
memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhsah. Misalnya,
seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hokum
asalnya adalah haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk
tidak memakan bangkai sehingga memakan bangkai itu hukumnya haram bagi orang
tersebut. Maka dengan sendirinya hukum rukhsoh
tersebut adalah mubah. Ketentuan ini terdapat dalam firman Allah
dalam surat Al-Baqarah:173
E. MAHKUM ‘ALAIH
1. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama ushul fiqih telah
sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab Allah
Ta’ala, yang disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai
orang yang diebani hukum, sedangkan dalam istlah ushul Fiqh, mukallaf disebut
juga mahkum ’alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum,
baik yang
berhubungan dnegan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.
2. Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap
mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tidak
heran jika sebagian besar ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf adalah akal dan
pemahaman.
Orang yang belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syari’ (Allah
dan Rasul-Nya).yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang dalam keadaan
tidur, mabuk, dan lupa karena dalam keadaan tidak sadar.
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf
dapat dikenai taklif jika telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a. Orang itu telah
memahami khithab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam
al-Qur’an dan
sunnah
b. Seseorang harus
mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul Fiqh disebut ahlun
li al-taklif.
Kecakapan menerima taklif atau yang disebut dengan al-ahliyah adalah kepantasan
untuk menerima taklif (Amir Syarifuddin, 2008: 390). Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau
tidak mampu bertindak
hukum, belum atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Ahliyyah
Secara Adapun
arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushul fiqih
harfiyah, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun
secara termonologi ahliyyah adalah sifat yang menujukkan bahwa seseorang telah
sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh
syara’.
Menurut para
ulama ushul fiqh, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
1.
Ahliyyah al-ada’, yaitu sifat
kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat posiif maupun
negativ.
2.
Ahliyah al-Wajib, yaitu sifat dan kecakapan
seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum mampu untuk
dibebani seluruh kewajiban.
Para ahli ushul fiqih membagi ahliyyah al-wujub
menjadi dua bagian:
1.
ahliyyah al-wujub al-naqishah,
yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Para ulama Ushul sepakat, ada empat hak
bagi seorang janin, yaitu: (a) hak keturunan
dari ayahnya; (b) hak warisan dari pewarisan yang meninggal dunia. (c) wasiat yang ditujukan
kepadanya; dan (d) harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
2.
ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu
kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih seperti orang gila.
4.
Halangan (‘Awaridl) Ahliyyah
Ulama ushul
menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
1. Awaridh al-samawiyah, yaitu
halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu,
perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan kematian), dan lupa;
2.
Awaridh al-muktasabah,
yaitu halangan yang disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, terpaksa .
a.
Halangan yang
dapat menyebbakan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada’)
hilang sama sekali, sepeti gila, tidur, dan terpaksa., bersalah, berada di
bawah pengampunan dan bodoh.
b.
Halangan yang
dapat mengurangi ahliyyah al-ada’ seperti orang dungu. Orang
seperti ini, ahliyyah
al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi dapat membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum.
c. Halangan yang
sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orang yang berutang, pailit, di bawah
pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh.
F.
HAKIM
1.
Pengertian Hakim
Secara etimologi, hakim memiliki dua
arti, yaitu:
v “Pembuat hukum yang menetapkan dan memunculkan sumber hukum”.
v “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim
adalahAllah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang
dititahkan
kepada seluruh
mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah baik yang berkaitan
dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun
yang berkaitan dengan hukum wadl’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal fasid,
‘azimah dan rukhshah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas
bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode
istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah.
Dalam hal ini para ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:
Artinya, “Tidak ada hukum kecuali bersumber
dari Allah”.
2. Kemampuan Akal
Mengetahui Syari’at
Dalam menentukan kemampuan akal untuk
menetapkan hukum sebelum turunnya
syari’at, para ulama terbagi kepada
tiga golongan:
1.
menurut ahlu sunnah waljama’ah, akal tidak
memiliki kemampuan untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya
dapat menetapkan baik
dan buruk
melalui perantaraan al-Quran dan Rasul, serta kitab-kitab samawi lainya.
2.
Mu’tazilah berpendapat bahwa akal dapat
menentukan baik buruknya suatu
perbuatan
seelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara kitab samawi dan rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh
zatnya, sehinga akal dapat menentukan syari’at. Menurut kaum Mu’tazilah, prinsip yang dipakai dalam
menentukan sesuatu itu baik
ataupun buruk
adalah akal manusia, bukan syara’.
3.
Maturidiyah berusaha menengahi kedua
pendapat di atas. Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau
buruk pada zatnya. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan
yang baik pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang buruk pada
zatnya.
G.
MAHKUM BIH DAN MAHKUM FIH
1.
Pengertian
Mahkum Bih dan Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan objek hukum atau
mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan atau ditinggalkan
oleh manusia; atau dibiarkan
oleh Pembuat
Hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut
mahkum bih atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan
dan bukan pada
dzat.
2.
Syarat-syarat Mahkum Bih
Perbuatan,
sebagai objek hukum itu melekat pada manusia, hingga bila pada suatu
perbuatan telah
memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban
hukum atau taklif.
Para ulama
Ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya
dapat
ditangkap dengan jelas dan dapat
dilaksanakannya. Misalnya, seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat sebelum ia
tahu rukun, syarat, dan kaifiyah sholat.
b. Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu
dari Allah sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan
melaksanankan titah Allah semata.
c. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditingalkan dan berada dalam kemampuannya untuk dilaksanakan.
2. Macam-macam Mahkum Bih
Para ulama ushul membagi mahkum fih
dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang
terdapat dalam perbuatan itu sendiri. Dari segi keberadaanya dan syara’, mahkum bih terdiri
dari:
1. Perbuatn yang secara material ada, tetapi
tidak termasuk perbuatan yang terkaitdengan syara’, seperti makan dan minum.
Makan dan minum adalah perbuatanmukallaf tetapi perbuatan makan dan minum itu
tidak terkait dengan hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan
menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini
menjadi sebab adanya hukum
syara’, yaitu
hudud dan qishash;
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru
bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan
zakat;
d. Perbuatan
yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah,
jual-beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari
segi hak yang terdapat dalam perbuatan, maka mahkum bih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Semata-mata
hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Hak
yang semata-mata hak Allah ini menurut ulama ushul fiqh ada 8 macam, yaitu:
(1) ibadah mahdlah,
seperti rukun iman dan
rukun islam.
(2) ibadah yang
didalmnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti zakat fitrh.
(3)
Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil bumi.
(4) Biaya/santunan
yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap hukuman bagi orang-orang yang tidak
ikut jihad.
(5) Hukuman secara
sempurna dalam berbagai tindakan pidana seperti dera/ rajam sebagai hukuman berbuat zina.
(6) Hukuman yang
tidak sempurna, seperti
seseorang tidak
diberi hak waris karena ia membunuh pemilik harta.
(7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti
kafarat sumpah dan
(8) Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban
mengeluarkan seperlima harta terpendam.
b. Hak hamba
yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
c. Kompromi
antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak
pidana qadzaf. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, termasuk hak Allah, dan dari sisi
menghilangkan malu dari orang yang dituduh, termasuk hak hamba.
d. Kompromi
antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash.
3. Kaitan
objek hukum dengan pelaku perbuatan
Setiap
perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu. Dapat tidaknya
taklif itu dilakukan oleh orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum.
Dalam hal ini, objek hukum terbagi tiga:
a. Objek hukum
yang pelaksanaannya mengenai diri prinadi yang dikenai taklif;
umpamanya
shalat dan puasa
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dnegan
harta benda pelaku taklif
umpamanya
kewajiban zakat.
c. Objek hukum
yang pelaksanaannya mengenai diir pribadi dan harta dari pelaku
taklif umpamanya kewajiban haji.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum
syara’
secara etimologi dalam bahasa Arab, al-hukm berarti mencegah, memutuskan,
menetapkan dan menyelesaikan.
Sedangkan
asy-syara’ yaitu jalan menuju aliran air, jalan yang mesti dilalui, atau aliran
air sungai.
Secara
terminologi, menurut Ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan hukum adalah Titah
Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk iqtidla’
(tuntutan), atau takhyir (pilihan), dan atau wadl’i (ketentuan yang
ditetapkan).
Hukum syara’ terbagi dua, yaitu:
a.
Hukum Taklifi
b.
Hukum Wadh’i
Hukum Taklifi adalah ketetapan Allah tentang perintah, larangan atau
takhyir (pilihan). Hukum Taklifi terbagi lima, yaitu: wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah.
Hukum wadh’I ialah titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu yang
macam, di antaranya : sebab, syarat, mani' rukhshah dan ‘azimah, dan sah dan
bathal.
rukhsah adalah
perturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanyahal-hal yang
memberatkan dalam menjalankan ‘azimah. Dengan kata lain, rukhsah
ialah pengecualian hukum-hukum pokok (‘azimah).
مَا شُرِعَ مِنَ الْاَحْكَامِ للتخفيف
عن العباد فياحوال خاصة
Hukum-hukum
yang disyari'atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keaadan tertentu.
Rukhsah
diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka
bebas memilih antara ‘azimah dan rukhsah. Namun, adakalanya pula rukhsah
itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan
pertimbangan-pertimbangan lain.
‘Azimah
ما شرع من الاحكام الكلية
ابتداء
Suatu ketentuan yang sejak semula
disyari'atkan sebagai ketentuan
hukum yang umum
Yang dimaksud ‘azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri
atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap
mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau
pertimbangan lain) yang mendahuluinya
Mahkum ‘alaih adalah orang
yang kepadanya diperlakukan hukum. Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih
adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khithab Allah Ta’ala, yang disebut
mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang diebani
hukum, sedangkan dalam istlah ushul Fiqh, mukallaf disebut juga mahkum ’alaih (subjek
hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dnegan perintah
Allah maupun dengan larangan-Nya.
Hakim Secara etimologi, hakim memiliki dua arti, yaitu:
v “Pembuat hukum yang menetapkan dan memunculkan sumber hukum”.
v “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan”.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim
adalahAllah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang
dititahkan
kepada seluruh
mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah baik yang berkaitan
dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram), maupun
yang berkaitan dengan hukum wadl’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal fasid,
‘azimah dan rukhshah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas
bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad saw., maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma’, dan metode
istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah.
Mahkum Bih dan
Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan objek hukum atau
mahkum bih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Pembuat Hukum untuk, dilakukan
atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh Pembuat Hukum untuk
dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh, yang disebut mahkum bih
atau objek hukum adalah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum
adalah perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pad perbuatan
dan bukan pada
dzat.
DAFTAR
PUSTAKA
Zahrah,
Muhammad Abu, 1995,Ushul al-fiqh, Jakarta:Pustaka Firdaus.
Syarifuddin, Amir, 2009 ushul Fiqh Jakarta:Kencana.
Koto,
Alaiddin,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Uman,Khaeruldkk, ushul fiqih, 1998. Bandung:Pustaka
Setia.
Khallaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul
Fiqh, 1994, Dina Utama: Semarang
Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqh,
2010, Amzah : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar